Karakteristik
Penduduk Perkotaan
Menurut Dickinson, kota adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya
rapat dan penduduknya bermata pencaharian bukan agraris. Seperti yang kita
ketahui, sebagian besar orang dari pedesaan pindah ke kota. Karena masyarakat
di perkotaan memiliki banyak akses lebih baik dari di desa. Dengan banyaknya
akses di perkotaan maka masyarakat di perkotaan mengalami dampak globalisasi
yang lebih besar dari masyarakat di desa. Dampak globalisasi bagi kehidupan
masyarakat perkotaan sangat konkrit dalam aspek sosial seperti tatanan sosial
masyarakat, perubahan psikologis, dan hubungan dalam keluarga. Sehingga diperoleh ciri-ciri kota dari berbagai aspek, sebagai berikut:
- Ciri-ciri kota dari aspek sosial :
-
Adanya keanekaragaman penduduk
-
Sikap penduduk bersifat individualis
-
Norma agama tidak ketat
-
Pandangan hidup kota lebih rasional
- Ciri-ciri kota dari aspek fisik :
-
Adanya sarana ekonomi
-
Adanya gedung pemerintahan
-
Adanya sarana rekreasi
-
Adanya kompleks perumahan
2.2
Jumlah dan Ukuran Rumah Tangga
Dari globalisasi dapat
diketahui perubahan ukuran rumah tangga erat kaitannya dengan pola fertilitas
dan mortalitas masyarakat. Sebagaimana diketahui, tingkat fertilitas di
Indonesia telah menurun dengan sangat drastis sejak dicanangkannya gerakan
keluarga berencana. Jika pada tahun 1971 seorang wanita kawin dalam masa
produksinya rata-rata memiliki anak 5,60 maka pada tahun 1991 angka ini turun
menjadi 3,22. Demikian juga angka kematian di Indonesia telah mengalami
penurunan yang sangat dratis dalam 30 tahun terakhir. Angka kematian kasar di Indonesia telah diturunkan dari 20 per 1000
pendudukan pada tahun 1970 menjadi 8 per 1000 penduduk pada tahun 1995.
Sedangkan angka kematian bayi berhasilnya diturunkan dari 142 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 70 per 1000 kelahiran hidup menjelang
tahun 1990.
Tingkat kematian khususnya kematian bayi antara daerah
perkotaan dan pedesaan lebih memberikan kondisi sosial ekonomi di daerah
perkotaan dan daerah pedesaan. Sebagaimana diketahui kematian bayi merupakan
ukuran yang sensitif untuk menilai perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Hal
ini jelas oleh karena pola kematian bayi sangat terkait dengan ketersediaan
fasilitas kesehatan, pola kesehatan yang ada dalam masyarakat tingkat
pendidikan, kesehatan lingkungan dan lain sebagainya.
Adanya perbedaan pola transisi fertilitas dan mortalitas
antara daerah perkotaan daerah perkotaan dan daerah pedesaan berdampak pada
adanya perbedaan besarnya rumah tangga antara daerah perkotaan dan daerah
pedesaan. Walaupun analisis mengenai jumlah dan ukuran rumah rangga antara
daerah pedesaan dan daerah perkotaan belum tersedia, namun melihat adanya
perbedaan pola fertilitas dan mortalitas antara kedua daerah tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ukuran rumah tangga di daerah perkotaan cenderung lebih kecil
daripada ukuran rumah tangga di pedesan. Di samping itu, jumlah anak dalam
rumah tangga untuk daerah perkotaan akan lebih sedikit daripada di daerah
pedesaan. Sebaliknya jumlah rumah tangga di daerah perkotaan cenderung lebih
besar daripada rumah tangga di daerah pedesaan.
Adapun implikasi yang dapat
ditarik dari karakteristik rumah tangga yaitu :
1) rumah tangga
di daerah perkotaan lebih memiliki kesempatan untuk melakukan investasi
terhadap peningkatan kualitas keluarga dibandingkan dengan rumah tangga di
daerah pedesaan.
2) Dengan makin
mengecilnya ukuran rumah tangga dan jumlah anak rumah tangga, maka wanita di
daerah perkotaan mempunyai kesempatan yang lebih tinggi untuk bekerja di luar
rumah dan itu berarti pendapatan rumah tangga akan meningkat.
3) Meningkatanya
jumlah rumah tangga di daerah perkotaan membawa dampak makin sulitnya pengadaan
rumah bagi keluarga.
4) Rumah tangga
di daerah perkotaan lebih ”mobile’ dibandingkan dengan rumah tangga di daerah
pedesaan.
2.3
Perubahan Lapangan Pekerjaan
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan pembangunan pada umumnya,
lapangan pekerjaan penduduk berubah dari yang bersifat primer seperti
pertanian, pertambangan, menuju lapangan pekerjaan sekunder seperti industri
atau bangunan, dan akhirnya menuju lapangan pekerjaan tersier ( jasa dan
informasi).
Pekerjaan di daerah pedesaan masih terkonsentrasi pada
lapangan pekerjaan primer. sebaliknya lapangan pekerjaan di daerah perkotaan
sudah mulai mengalami transisi atau perubahan menuju lapangan pekerjaan
sekunder maupun tersier.
Transisi lapangan pekerjaan
dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier di daerah perkotaan,
tergambar pula dari status pekerjaan antara pekerjaan formal dan nonformal di
perkotaan. Pada tahun 1992, persentase penduduk yang bekerja di sektor formal
di daerah perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan, persentase penduduk yang
bekerja di sektor non formal jauh melampaui persentase mereka yang bekerja di
sektor formal.
Gambaran lapangan pekerjaan penduduk tersebut menunjukkan
adanya perubahan sektor ekonomi penduduk dari yang bersifat agragris menuju ke
ekonomi yang bersifat industri. Gejala perubahan ini cepat berlangsung di
daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Perubahan perekonomian
dari sektor yang bersifat agraris menuju industri atau bahkan jasa, bukan saja
berdampak pada perubahan pola hubungan pekerjaan antara atasan dan bawahan,
tetapi juga mengubah pola kehidupan pekerjaan di luar situasi pekerjaan.
Dampak globalisasi terhadap pola pekerjaan penduduk semakin
nampak nyata bila globalisasi perdagangan dunia sudah berjalan. Pada masa
tersebut, persentase pekerja yang bekerja di sektor formal akan meningkat di
tambah dengan semakin besarnya pembauran antar bangsa dalam lingkungan
pekerjaan. Semuanya ini tentu membawa dampak pada perubahan struktur rumah
tangga dan pola perilaku kehidupan keluarga.
Mereka yang bekerja di sektor formal akan memiliki jam
kerja yang lebih teratur dan panjang. Hal ini tentunya membawa konsekuensi pada
perubahan pola kehidupan dan hubungan dalam keluarga. Berkurangnya waktu luang
di dalam rumah tangga harus diimbangi dengan kehadiran pihak ketiga yaitu
pembantu rumah tangga (PRT) untuk membantu mengurusi kegiatan rumah tangga
sehari-hari. Hal ini tentu saja berdampak pada lebih formalnya hubungan
keluarga dalam rumah tangga sebagai dampak dari kehadiran pihak ketiga
tersebut.
2.4
Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Wanita
Pemanfaatan sumber daya perempuan perlu di bina melalui memberi
kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya. Misalnya
saja dengan kesempatan kerja yang sama dengan kaum pria, tidak mendiskriminasi
perempuan dan lain- lainnya.
Peranan perempuan dalam bidang ketenagakerjaan juga
ditunjukkan oleh partisipasi tenaga kerja perempuan yang terus meningkat.
Perempuan juga telah meningkatkan peran sertanya dalam lembaga kenegaraan dan
pemerintahan, selain itu telah banyak perempuan yang telah menjadi pegawai
negeri dan anggota ABRI. Realisasi
dari peranan perempuan dalam pembangunan tentunya dapat kita lihat sendiri.
Saat ini telah banyak perempuan yang duduk dalam jabatan penting dalam berbagai
sektor pembangunan. Banyak perempuan telah membuka matanya akan kemampuannya
dalam menuangkan pikiran dan tenaga yang berguna bagi pembangunan.
Sejalan dengan transisi lapangan pekerjaan di daerah
perkotaan maka pola partisipasi angkatan kerja wanita di daerah perkotaan pun
mengalami perubahan. Secara umum tingkat partisipasi angkatan kerja wanita di
Indonesia mengalami peningkatan dari 49 persen pada tahun 1980 menjadi 56
persen pada tahun 1990. Namun
demikian gambaran partisipasi angkatan kerja wanita di daerah perkotaan dan
pedesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya.
Data ini memperlihatkan bahwa proporsi pekerjaan wanita
dari keseluruhan pekerja di daerah perkotaan meningkat dari 29 persen pada
tahun 1980 menjadi 33 persen pada tahun 1990. peningkatan proporsi wanita
pekeja ini erat kaitannya dengan naiknya partisipasi kaum wanita dalam sektor
formal.
Kaum wanita di daerah perkotaan memiliki kesempatan yang
lebih baik untuk masuk ke dalam pekerjaan yang bersifat formal dibandingkan
dengan rekannya di daerah pedesaan. Wanita di daerah pedesaan sebaliknya
terpaksa berpartisipasi dalam pasar kerja walaupun tanpa menerima upah atau
gaji. Mereka terpaksa membantu suami atau keluarga lain sebagai strategi
menyambung hidup keluarganya. Mereka terutama terjun membantu dalam bidang
pertanian dan sektor industri rumah tangga yang pada umumnya menghasilkan
barang dengan nilai jual sangat rendah.
Perbedaan karakteristik partisipasi angkatan kerja wanita
di daerah perkotaan dan pedesaan
tersebut membawa implikasi pada perbedaan sistem nilai dan pandangan
hidup antara kaum wanita pada kedua daerah tersebut. Meningkatnya proporsi
wanita di daerah perkotaan yang bekerja di sektor formal, memiliki implikasi
pada meningkatnya kemandirian wanita dalam mengambil keputusan baik di dalam
rumah tangga atau keluarga maupun di luar keluarga. Demikian pula keputusan
seperti menunjukan jumlah anak, sekarang tidak lagi menjadi keputusan suami
namun juga keputusan istri karena istri juga memiliki keterbatasan (constraint)
terhadap waktu sebagai dampak dari bekerja di luar rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar